CERPEN: PESISIR SANG PENJELAJAH SAMUDERA

PESISIR SANG PENJELAJAH SAMUDERA - Hari Minggu ini, keluarga Supardi menyewa 'angkot' (angkutan kota), lalu beramai-ramai naik angkot dan berdarma-wisata ke lokasi wisata Pantai Suradadi yang letaknya beberapa kilometer di sebelah timur Kota Tegal. Setelah mengantri sekitar satu jam lengkap dengan segala kemacetannya, akhirnya kendaraan mereka berhasil masuk ke dalam lokasi wisata itu. Bu Supardi, segera menurunkan berbagai bekal piknik, yang ditempatkan dalam keranjang dan beberapa wadah. Kelihatan agak berat juga. Pak Supardi, sibuk mengemasi dan membawa beberapa lembar tikar, untuk dipakai sebagai alas duduk di pinggir pantai. Anak-anak dan keponakan keluarga Supardi, semuanya sibuk memperhatikan suasana di sekitar tempat wisata itu. Ramai sekali. Banyak orang, anak-anak, keluarga yang sedang piknik, orang yang sedang berpacaran, anak-anak yang tertawa-tawa, remaja berjalan berbondong-bondong bersama sejumlah kawan karibnya, penjaja makanan, penjaja souvenir, penjual rokok, penjual balon warna-warni, plus tukang ngamen yang menyanyikan lagunya dengan suara parau. Hari itu, keluarga Supardi benar-benar melupakan seluruh kesibukan yang menjadi kegiatan hariannya, yakni kerja keras sehari suntuk bergelimang minyak oli di bengkel motor miliknya. Hari itu, mereka benar-benar membebaskan diri dari segala kesulitan yang setiap hari harus dihadapi. Makan di luar berhiaskan pemandangan pantai yang indah. Di sisi utara, terlihat beberapa perahu nelayan di kejauhan. Satu dua kapal besar tampak di kejauhan, di tengah laut. Hari Minggu ini adalah hari yang sangat indah bagi seluruh keluarga Supardi. Penuh canda dan tawa mereka menghabiskan waktu seharian penuh di pantai Suradadi.


Saat kita mendengar kata 'pesisir', maka di benak kita yang terbayang adalah sisi laut dengan pemandangan yang indah. Bahkan banyak pelukis yang terbuai dan menggambarkan suasana di sekitar pesisir sebagai suatu pemandangan yang bernuansa sorgawi. Perahu nelayan terlihat berjajar rapi di sisi pantai. Fotografer, saat melihat pesisir, sering juga menampilkan foto pemandangan alam nan cantik, foto debur ombak nan menjulang tinggi ke angkasa, foto samodra nan luas membiru, atau foto dua sosok remaja yang sedang memadu kasih. Duduk berdua di pantai dan sang gadis menyandarkan kepalanya ke pundak sang kekasih. Atau, gambar suatu sore, saat matahari sedang tenggelam. Atau, pemandangan saat para nelayan pulang dari melaut dengan penuh suka cita. Keluarga orang kota, saat hari libur, bahkan sering bercengkerama di sisi pantai bersama seluruh anggauta keluarga, sekedar untuk melepaskan penat dari kejenuhan suasana kota. Dan, seperti juga keluarga Supardi itu, saat kita dengan keluarga melakukan perjalanan jauh melalui jalan Pantura, sesekali kita bahkan juga cenderung dan sering berhenti sejenak untuk makan, minum, atau istirahat; di lokasi-lokasi peristirahatan, pemberhentian, SPBU, atau restauran yang memang terserak di sepanjang jalan Pantura, sejak dari Jakarta sampai Banyu-Wangi. Jadi, bagi kita, 'pesisir' seakan identik dengan suasana sorgawi, penuh keindahan, penuh dengan suasana santai, menyenangkan, hanya berteman debur ombak, penuh canda tawa, dan pokoknya semua yang serba menyenangkan hati. Begitulah bayangan kita tentang 'pesisir' pada umumnya....


Sesekali, cobalah kita masuk lebih dalam dari sekedar di pinggir jalan Pantura. Masuk ke dalam wilayah pemukiman para nelayan yang terserak di sepanjang pesisir pantai utara Pulau Jawa. Maka, mata kita akan terbelalak dan tercengang-cengang melihat sosok kehidupan nyata di wilayah itu, ternyata terbalik seratus delapan puluh derajat dengan semua cerita indah tentang pesisir. Jika kita berkunjung pada masim kemarau, maka yang tampak adalah tanah gersang kering kerontang, pohon-pohon asam meranggas tak berdaun, panas terik terasa membakar permukaan kulit, dan bahkan angin laut yang kencang tak mampu membuat kita merasa nyaman. Keringat mengucur membasahi tubuh. Anak-anak duduk termenung, berlindung dari panas terik matahari. Sekumpulan wanita memakai pelindung dan penutup kepala, sibuk menata dan mengatur ratusan 'tampah' berisi ikan asin kering. Bau laut menyeruak menyengat bercampur dengan bau busuk air sungai berwarna keruh yang tak mengalir, padahal muara sungai tak jauh letaknya. Seakan air sungai itu enggan menuju laut lepas, terperangkap di dalam tempat kumuh penuh derita dan kemiskinan. Jika kita berkunjung pada waktu musim penghujan, maka pemandangan menampilkan diri seakan lautan bertambah luas, karena banjir terjadi di mana-mana. Air menggenang tak surut selama beberapa minggu, sudah menjadi hal yang lumrah. Perahu kecil diparkir di depan tempat tinggal mereka, merupakan persiapan menghadapi banjir yang bisa saja datang tiba-tiba tak kenal waktu, saat musim penghujan.

Sejumlah laki-laki berkulit legam penuh keringat, tampak asyik memperbaiki jaring-jaring yang robek. Beberapa di antara mereka, sibuk memperbaiki bagian-bagian dari perahu mereka yang rusak diterjang ombak. Panas terik matahari tak membuat mereka surut sedikitpun. Sesekali, terdengar tembang sendu dinyanyikan para lelaki penjelajah lautan ini. Sesekali terdengar teriakan mereka, memanggil atau memberikan aba-aba untuk melakukan sesuatu. Lalu, kembali terdengar tembang sendu mereka, saat mereka bekerja. Hidup mereka, dari hari ke hari, dari bulan ke bulan, dan dari tahun ke tahun selanjutnya; seakan tak pernah berubah. Mereka menjadi berumur, menjadi tua, dan akhirnya lenyap ditelan jaman. Tetapi selalu ada penerus mereka. Anak-anak lelaki mereka, yang sekarang dengan takjub memandang ayahnya bekerja terus-menerus sehari suntuk, tanpa menampakkan kelelahan. Hiburan mereka? Hanya tembang sendu yang dinyanyikan lirih, seakan hendak meredam segala kepahitan hidupnya. Tak seperti orang-orang kota yang datang dengan penuh canda ria, tertawa bergembira dengan seluruh sanak keluarganya, berpiknik ke tempat-tempat sorgawi di pinggir pantai. Mereka, para nelayan penjelajah samodra, hampir-hampir tak pernah mengalami kegembiraan seperti orang kota. Kemiskinan, badai, banjir, dan kekeringan saat kemarau; sudah merupakan bagian dari hidup mereka. Tak ada keluhan, tak ada umpatan tentang kehidupan sengsara. Semuanya berjalan bagaikan air mengalir begitu saja. 

Seorang lelaki berdiri termenung di sisi pantai. Memandang sendu penuh rindu jauh ke lautan lepas. Perahunya kemarin terbanting hancur di tepi pantai, diterjang badai ganas samodra utara. Ia sendiri berhasil menyelamatkan diri, setelah ditolong oleh sejumlah sahabatnya yang juga berjuang melawan badai. Di antara terik Sang Bagaskara yang menerpa tubuhnya, seakan ia bisa mendengar lamat-lamat tembang sendu Tlutur Pesisir mengalun lirih terbawa sang samirana, menyelinap di antara rimbunnya ribuan pohon kelapa di kejauhan, bagaikan dinyanyikan oleh ribuan bidadari, memendarkan hujan air mata. Lelaki itu termenung diam selama berjam-jam di pinggir pantai. Menatap sisa-sisa perahunya yang hancur. Seakan hancur pula masa depan kehidupannya.... 


O,
O,
Rerawatan sesambate,
Aminta puja carana,
O,
Pindha pecata yitmane,
Dhuh dewa dhuh bathara,
Ana paran,
Mahuwusana uriping driya,
O,
Dhuh Gusti jejimat ingsun,
O,
O....[1]

Baginya, perahu adalah nyawa kehidupannya. Taruhan kehidupannya. Saat perahu tambatan hidupnya hancur diterjang badai, seakan seluruh kehidupannya seketika berhenti begitu saja. Seakan ia menjadi manusia berraga tanpa nyawa. Di antara kesengsaraan hidupnya yang mendera, ia hanya memohon kepada Sang Penguasa Jagat Raya, akhirilah hidupnya seketika, atau karuniakan kembali perahu kehidupannya. Tak akan ada gunanya hidup tanpa perahu kehidupannya bersamanya. Sahabat setia saat menempuh badai kehidupan di laut lepas. Sahabat setia yang menjadi kawan karib senasib sepenanggungan saat mengarungi laut lepas berhias bulan purnama. Ya.... perahu itulah cinta pertama dan terakhirnya. Tempat tumpuan segala mimpi kehidupannya. Tempat menautkan akhir bagi seluruh perjalanannya sepanjang malam. Kerinduan saat melihat dari kejauhan desanya yang samar-samar terlihat dari tengah laut lepas, selalu membuatnya rindu memimpikan perahu kehidupannya kembali. Saat memandang perahu kehidupannya yang sudah tak berbentuk lagi, air-matanya tak terasa menetes. Mengalir perlahan menyusuri kulit pipinya yang legam karena terpaan terik matahari.

Masih berlama-lama lelaki itu diterpa terik matahari yang semakin membakar kehidupannya. Tatapan matanya kosong memandang ke laut lepas. Merindukan perahu kehidupannya kembali. Dan, tak terasa, hari telah mencapai titik tengah hari. Seorang wanita sebaya, datang perlahan mendatang lelaki itu. Lalu ia berkata penuh kasih sayang: "Mas...., hari telah siang. Meskipun sederhana, saya sudah menyiapkan makan untukmu dan anak-anak." Ia terdiam sejenak, saat melihat suaminya hanya diam tak berkata-kata. Lalu perlahan-lahan ia melanjutkan: "Gusti Allah itu maha baik dan maha pemberi Mas. Besok-besok pasti Gusti Allah berkenan memberimu perahu baru. Sekarang kita pulang dulu saja. Makan, lalu sembahyang dan berdoa; supaya permohonanmu itu dikabulkan." Lelaki itu tercenung mendengar kata-kata isterinya yang terasa bagaikan malaikat. Seketika itu juga air-matanya berlinang. Bukan lagi air-mata sedih, tetapi air-mata bahagia. Isterinya, ternyata telah menjadi permata hatinya. Isteri yang selama ini selalu ditinggalkannya saat mengarungi ganasnya laut lepas, sekarang seakan berubah menjadi malaikat pengikat hati, yang mengingatkan kembali dirinya sebagai seorang lelaki penjelajah lautan. Berpelukan mereka berdua sambil berurai air-mata. Seakan mereka telah menemukan kehidupan baru yang telah lama dimimpikan. Hari itu, lalu berubah menjadi hari yang tak pernah dilupakannya sepanjang hayat. Hari saat perahu kehidupannya hancur, tetapi juga merupakan hari saat ia menemukan kembali permata kehidupannya.


___________________________

[1]  Terjemahan bebas: // O, O, // Berulang-ulang curahan keluhan hatinya, // Memohon doa segala upaya, // O, //  Bagaikan telah lepas jiwanya, // Duh dewa-dewa, // Apa yang engkau mohonkan? // Akhirilah hidup hamba, // O, // Duh Gusti (Tuhan) jimat kehidupan hamba, // O, O....//


Klik Disini Untuk Melihat Artikel Menarik Lain nya.

0 Response to "CERPEN: PESISIR SANG PENJELAJAH SAMUDERA"

Post a Comment