'SLENDHANG BIRU': SEBUAH CERITA KENANGAN KI NARTO SABDHO

'SLENDHANG BIRU': SEBUAH CERITA KENANGAN KI NARTO SABDHO - Ini merupakan sebuah cerita 'true story' tentang tembang dan syair 'Slendhang Biru' yang amat sangat terkenal, bahkan sampai saat ini. Tembang romantis yang bernuansa agak sendu ini, sebenarnya menyimpan secuil rahasia kehidupan pribadi Ki Narto Sabdho di masa lampau. Diceritakan secara langsung oleh Ki Narto Sabdho almarhum, kepada saya dan isteri saya, saat kami berdua berkunjung ke tempat tinggal beliau di di Jl. Anggrek, dekat Simpang Lima, Semarang. Kejadiannya, pada tahun 1976, tepat saat liburan panjang semesteran (antara bulan Juli - September). Namun, tanggal dan hari tepatnya, saya benar-benar sudah tidak ingat lagi.


Pada masa sebelumnya, menurut cerita beliau, pernah ada seorang siswi pesindhen (pesindhen ajaran), yang berasal dari Kota Boja (lokasinya di sebelah barat-daya Kota Semarang, berjarak sekitar 25 km). Siswi pesindhen itu, masih remaja, umurnya sekitar 16 - 17 tahun. Anaknya cantik, menarik, pintar berbicara, dan sexy. Setidaknya begitulah gambaran Pak Narto tentang siswi pesindhen-nya itu. Setiap hari, jika datang berlatih di Jl. Anggrek, ia selalu diantar menggunakan mobil 'Colt' Mitsubishi baru (saat itu mobil Colt, Mitsubishi T-120 merupakan mobil yang sangat populer).


Selama belajar 'nyindhen', Pak Narto rupanya jatuh hati. Mungkin karena sebagai wanita, siswi pesindhen ini kan masih muda dan kinyis-kinyis. Suaranya bagus, orangnya cantik dan sexy, pintar berbicara, lalu senyumnya sangat menawan. Tentang suara siswinya itu, Pak Narto menceritakan kepada kami berdua, bahwa jika orang mendengar suaranya yang begitu merdu, pasti akan tertarik, terpikat, dan jika pendengarnya seorang pria, sangat mungkin juga akan jatuh hati seketika. Saat menceritakan, mata Pak Narto tampak berbinar-binar. Rupanya, soal siswi pesindhen yang satu ini, benar-benar membuat dunia Pak Narto berubah total. Begitu diceritakan oleh Pak Narto kepada saya sambil tertawa terbahak-bahak. Sang siswi pesindhen yang cantik ini, meskipun sedang dalam tahap belajar, sesekali diajak Pak Narto ikut dalam berbagai pagelaran wayang kulit purwa. Saat sang siswi pesindhen cantik ini ikut pagelaran, dia selalu memakai kebaya berwarna ungu, dan menggunakan selendang berwarna biru. Di mata Pak Narto, kecantikan sang siswi pesindhen itu, diceritakan 'kaya widodari tumurun saka kayangan' (bagaikan bidadari turun dari kahyangan).

Seperti apakah sebenarnya wajah dan penampilan siswi pesindhen dari Boja, yang berhasil membuat Ki Narto Sabdo benar-benar jatuh hati, kelabakan, dan sampai-sampai riwayatnya ditumpahkan menjadi sebuah tembang indah 'Slendhang Biru'...?Seperti apakah sebenarnya wajah dan penampilan siswi pesindhen dari Boja, yang berhasil membuat Ki Narto Sabdo benar-benar jatuh hati, kelabakan, dan sampai-sampai riwayatnya ditumpahkan menjadi sebuah tembang indah 'Slendhang Biru'...?Pesindhen yang bersuara merdu, merayu, cantik, centil, sexy, dan pandai berbicara; memang bisa membuat siapapun yang melihat dan/atau mendengarkan suaranya nan merdu merayu itu, menjadi jatuh hati.Pesindhen yang bersuara merdu, merayu, cantik, centil, sexy, dan pandai berbicara; memang bisa membuat siapapun yang melihat dan/atau mendengarkan suaranya nan merdu merayu itu, menjadi jatuh hati.Suara merdu, wajah nan cantik, perangai yang centil, nada suara melankolis, senyum manis, perangai yang membuai, dan cara bicara yang memikat; memang bisa saja membuat banyak pria takluk dan memimpikan sang primadona itu sebagai kekasih...Suara merdu, wajah nan cantik, perangai yang centil, nada suara melankolis, senyum manis, perangai yang membuai, dan cara bicara yang memikat; memang bisa saja membuat banyak pria takluk dan memimpikan sang primadona itu sebagai kekasih...Ki Narto Sabdho almarhum bisa jadi memang pengagum berat Bung Karno. Mungkin karena itu pula, maka ada salah satu pose foto beliau yang menggunakan pakaian ala Bung Karno, lengkap dengan lambang garuda emas di dada kirinya. Ki Narto Sabdho almarhum bisa jadi memang pengagum berat Bung Karno. Mungkin karena itu pula, maka ada salah satu pose foto beliau yang menggunakan pakaian ala Bung Karno, lengkap dengan lambang garuda emas di dada kirinya.Latihan rutin 'nyindhen' itu, berjalan cukup lama. Dan, setiap hari, saat latihan berlangsung, Pak Narto selalu menunggui sendiri. Sudah menjadi kebiasaan Pak Narto dan grup kesenian pimpinannya, jika sedang tidak melakukan pagelaran wayang kulit purwa atau sedang tidak ada kegiatan rekaman; maka seluruh anggauta grup kesenian yang dipimpin oleh Pak Narto itu selalu melakukan latihan rutin, sebanyak dua kali dalam sehari. Pada sore hari, saat menjelang latihan kedua berakhir, Pak Narto selalu membiasakan diri untuk merekam hasil latihan hari itu. Untuk keperluan ini, digunakan sebuah perangkat perekam audio berukuran besar, yang menggunakan pita magnetik. Bentuk pitanya sama dengan pita kaset audio, berwarna coklat, tetapi digulung pada suatu rol plastik berukuran besar. Setelah itu, biasanya dilakukan evaluasi tentang hasil latihan hari itu.  

Perjalanan melatih siswi pesindhen muda nan cantik ini, berlangsung cukup lama. Dan, selama waktu yang cukup lama itu, rupanya Pak Narto jatuh hati kepada siswinya itu. Entah apa yang membuatnya jatuh hati. Mungkin suaranya yang memang merdu merayu. Atau, kecantikannya yang luar biasa. Atau, karena kepandaian berbicaranya, yang memang amat sangat memikat dan menawan hati. Dan, Pak Narto entah dengan pertimbangan apa, pada suatu hari, Pak Narto meminta sang siswi pesindhen nan cantik itu untuk bersedia menjadi isterinya. Tetapi, permintaan Pak Narto itu, ternyata ditolak secara halus oleh sang siswi pesindhen nan cantik itu. Sang siswi nan cantik itu, ternyata sudah punya pasangan hidup. Karena itu, keinginan Pak Narto nggak kesampaian. Nah, dari peristiwa itulah, kemudian lahir tembang 'Slendhang Biru' yang sendu dan romantis; tetapi, isi syairnya sebenarnya mengandung kesedihan hati. 

Coba saja perhatikan isi syair tembang itu. Meskipun tembangnya dilantunkan secara gembira, sebenarnya isi syairnya berisi kesedihan hati Pak Narto. Ada terkandung nada putus-asa di sana. Saat beliau dulu bercerita kepada saya, beliau mengatakan : "Aku mung bisa nyawang saka kadohan. Ora bisa methik." Maksudnya, beliau hanya bisa melihat dari kejauhan dan sama sekali tak bisa 'memetik' (melamar) menjadi isterinya. Saat mengatakannya, saya merasakan ada semacam nada kekecewaan yang mendalam pada nada ucapan kalimatnya. Saya waktu itu, sampai terdiam dan terkesima, saat beliau tiba-tiba beliau bercerita tentang asal muasal tembang 'Slendhang Biru' itu. Padahal, saya waktu itu sama sekali tidak berkehendak menanyakan hal itu (karena memang nggak tahu). Tetapi, saya saat itu memang menanyakan kepada beliau, bagaimana sistem latihan yang diterapkan Pak Narto pada grup Condong Raos. Jadi, sebenarnya topik pembicaraan saat itu, sama sekali tidak ada hubungannya dengan soal pesindhen ajaran itu. Tapi entah kenapa, tiba-tiba beliau berhenti bercerita tentang sistem latihan, dan berganti topik begitu saja, dengan bercerita tentang peristiwa dengan pesindhen cantik muda belia itu

Sebagai informasi, dalam pertemuan itu, saya ditemani isteri saya. Sedangkan beliau, juga bersama isteri tertua beliau. Isteri beliau tampak tak terpengaruh oleh cerita itu. Dan, malah menambahkan, bahwa Pak Narto menuliskan semua gagasannya di kamar mandi, saat buang air. Di kamar mandi itu, isteri beliau menceritakan, selalu disediakan notes kecil dan pensil yang diikat menggunakan benang, dan digantung pakai paku di tembok. Dari ruang kecil itulah tembang sendu 'Slendhang Biru' yang terkenal itu dihasilkan.

Di luar cerita tentang bagaimana tembang dan syair 'Slendhang Biru' itu disusun, sebenarnya masih ada sebuah rahasia kecil, yang saat itu juga sempat diceritakan kepada kami berdua. Sebenarnya, ada satu deret kata di dalam syair Tembang Slendhang Biru yang diganti (disembunyikan maksudnya) oleh Pak Narto. Menurut beliau, kalimat syair tembangnya yang berbunyi "Ora tekan batin setyamu..." (tidak sampai ke batin/hati kesetiaanmu), sebenarnya semula (aslinya) berbunyi 'Ora tekan batin sedyaku" (Tak sampai keinginan hatiku). Dua kalimat itu artinya amat sangat berbeda kan. Tetapi dengan berbagai pertimbangan, lalu jadi seperti yang sekarang kita dengarkan, yaitu menjadi "Ora tekan batin setyamu..." Susunan kalimat dalam syair itu (setelah diubah sedikit), jadi agak aneh, dan agak tak masuk logika. Coba perhatikan, kan bunyinya "Ora tekan batin setyamu..." yang kalau diartikan, kan jadinya "tak kesampaian batin kesetiaanmu..." Nggak logis kan? Yang lebih logis itu ya kalimat aslinya, yang bunyinya "Ora tekan batin sedyaku'" yang artinya 'tak kesampaian keinginan hatiku'.

Mengenang Pak Narto Sabdho almarhum, sama dengan mengenang seseorang yang penuh dengan kreatifitas tak terduga. Ha ha ha canggih sekali ya beliau. Bisa mempermainkan kalimat sampai seperti itu dan kita sebagai pendengarnya, sebagian besar tak pernah tahu bagaimana dulu sejarahnya. Sayang sekali, saya saking terpesonanya dengan cerita secuil 'rahasia' beliau itu, sampai-sampai tak ingat sama sekali untuk menanyakan nama siswi pesindhen nan cantik itu, yang sudah membuat hati Pak Narto Sabdho gundah-gulana. Jika kita mencermati syairnya, jelas terlihat, bahwa beliau juga berkehendak untuk merahasiakan nama sang siswi pesindhen yang sudah berhasil memikat hatinya. Buktinya, pada syair tembangnya, beliau 'memanggil' gadis kesayangannya itu dengan panggilan 'slendhang biru', dan sama sekali tak menyebut nama. Seakan mau mengatakan "Dia yang berselendang biru..." Dengan tertawa renyah, beliau hanya menyatakan: "Omahne Mboja" (Rumahnya di Boja). 


Saat kami berdua mohon diri untuk pulang, beliau dengan senyum khasnya seperti hendak mengatakan kepada kami berdua: "Simpenen crita kuwi ya..." (Simpanlah cerita itu ya). Dan saya, memang selalu mengingat dan menyimpan cerita itu secara rapih di dalam hati, sepanjang hayat. Bukannya apa-apa, karena cerita itu punya sejarah unik, yang mungkin saja hanya diceritakan kepada kami berdua.




Artikel 'SLENDHANG BIRU': SEBUAH CERITA KENANGAN KINARTOSABDHO  Diunggah Dari Saudara Bram Pagunaldi.




Klik Disini Untuk Melihat Artikel Lainnya

0 Response to "'SLENDHANG BIRU': SEBUAH CERITA KENANGAN KI NARTO SABDHO"

Post a Comment